lompatan kebahagiaan | Titah H. P. |
persiapan menuju sempu dilakukan ala kadarnya. ya karena berencana balik hari. kami membawa makanan ringan, minum dan peralatan pendukung untuk trekking, seingat saya, ada coklat batang, coklat pasta, roti sobek, jelly, permen coklat, tikar plastik, baju ganti, kacamata, topi, air mineral dan minuman berenergi. Dan, perjalanan pun dimulai..
kira-kira jam 10 pagi, perahu yang di carter seharga 10.000 rupiah per kepala menambatkan lajunya di pesisir pulau. Semuanya turun dari perahu dengan riang gembira. Ada sekitar 19 orang: adi yang menjadi ketua rombongan, toge sang ketua SUMA, para sesepuh, sebutan kami untuk alumnus suma(Titah, rifki, happy), lisan, fanda, cimeng, galih, ayu, dhay, ghita, laras, vida, vidi, raisha, kiki, steny dan saya. Rombongan mulai berjalan dengan membentuk formasi. Saya lupa formasinya bagaimana, yang jelas para lelaki lelaki tangguh ditempatkan di beberapa posisi seperti di depan, pembawa barang, mendampingi teman cewek serta di belakang. Estimasi waktu yang dibutuhkan dari pesisir pulau ke laguna diperkirakan 2 jam. Tapi ternyata jalan yang dilalui tidak semudah yang di bayangkan. Tanah menjadi sangat becek karena semalam habis hujan. Trek yang dilalui juga tidak terlalu mudah meskipun seandainya saat itu tidak hujan. Apalagi banyak dari kami yang belum biasa trekking dihutan. Akhirnya kami saling bahu membahu dan memecah diri jadi 3 tim secara tidak sengaja. Ada tim depan, tengah dan tim yang paling belakang. Itupun saling menunggu agar tidak terlalu jauh jarak antar tim. Saking menunggunya, da rifki di tim terdepan sempat berenang di sisi laguna yang masih berada dalam rute trek. Perkiraanpun meleset sangat jauh karena ternyata kami membutuhkan waktu 6 jam hingga dapat melihat jernihnya air laguna sempu.
jalur trekking | Photografer Suma |
Saat sampai di ujung rute trekking yang artinya danau air asin sempu, saya tanpa banyak pikir langsung menceburkan diri. Berendam sambil membersihkan kaki yang dipenuhi lumpur hingga selutut. Beberapa lainnya juga melakukan hal yang sama sedangkan sisanya beristirahat di bawah pepohonan rindang pinggir danau. Ketika berendam itulah saya menikmati betapa indahnya pulau ini. Air laguna berwarna biru tapi ketika mata sampai disisi satunya lagi, air berwarna hijau. Ada juga ikan-ikan kecil yang asik berenang kian kemari. Danau ini dangkal dan jernih. Membentang seluas stadion gelora bung karno di ibu kota negara kita. Disalah satu sisi, terlihat hutan cagar alam yang baru saja kami lalui. Di sisi lainnya ada karang bolong yang tampak gagah. Karang bolong berbentuk lingkaran yang kira kira berdiameter 150 meter ini selalu bergemuruh karena menjadi pintu air dan ventilasi antara laguna dan sumudera hindia di belakang dinding karang yang melingkari sebagian laguna. Alasan kenapa disebut danau air asin juga karena air yang berasal dari lautan lepas, bukan dari air tawar.
Setelah sejenak beristirahat, wajah sebagian dari teman teman mulai menampakkan ketegangan daripada keletihan. Sayapun sadar, waktu menunjukkan sekitar jam 4 sore saat itu. Rencana balik hari bisa terancam, karena kita harus mencapai bibir pulau lagi sebelum jam 6 jika ingin pulang. Dan, tidak dibolehkan trekking malam hari disana. Akhirnya kami semua merapatkannya di perairan dangkal danau. Mengingatnya menjadi satu kenangan indah tersendiri. Rapat dalam danau? Luar biasa..haha.
.
Rapat di danau air asin sempu | Photografer Suma |
Keputusan bulat, kita tidak mungkin balik hari. Kita menetap dan pulang esok paginya. Anak-anak pun berulangkali melontarkan kata “cast away”. Merujuk sebuah film yang bercerita tentang tersesatnya seseorang di pulau tak berpenghuni. Dan memang sempu tidak berpenghuni karena merupakan cagar alam. Tapi saat itu ada juga beberapa kelompok yang berkemah di pinggir danau. Kita memang cast away, tapi tidak sendirian kawan.
Berbagai persoalan karena kurang persiapan dipecahkan dengan cara seadanya. Tenda darurat di buat dari tikar plastik. Kayu untuk api unggun mulai dikumpulkan dari ranting-ranting pohon. Semua logistik yang jumlahnya hanya cukup untuk sampai malam itu di keluarkan dan ditumpuk jadi satu. Saya masih ingat saat itu terbayang film “alive” yang bercerita tentang terdamparnya serombongan tim bola di pegunungan alpen. Saya mulai akan bergaya sok sok’an dramatis seperti di film itu dengan berusaha mengatur stok logistik secara ketat. Siapa saya ya? Ha. Toge pun membuyarkandan mengembalikan sadar saya. “Halah, ribet amat, makan aja yang lapar, tapi porsinya di tenggang. Ingat masih sampai pagi kita” ujarnya. Nah setelah itu fanda ditugasi untuk menghubungi bapak-bapak di seberang pulau tempat kami berada. Saya akhirnya ikut membantu karena hape saya berhasil mendapatkan sinyal meski kecil. Kami sampai naik ke atas bukit untuk mencari sinyal, walah. Ternyata kontak itu sangat membantu. Bapak-bapak itu bersedia mengantarkan makanan nasi bungkus. Tidak kurang dari satu setengah jam setelah kami telpon, beliau sudah sampai di laguna. Pak, we proud of you. Kami yang muda saja butuh 6 jam. Kami juga dibawakan terpal. Oke, berarti malam ini, kalau cuaca baik-baik saja, kita aman. Insyaallah.
Selama semalam di sempu, ada beberapa kejadian yang sangat terekam oleh saya. Malam itu cuaca tampak bersahabat, dengan langit penuh kejora. Semarak yang tak akan kita jumpai di kota besar. Mereka seakan membentuk milky way. Tapi, ketika memasuki jam 1 malam, semuanya buyar. Hujan disertai angin kencang datang menemani. Tenda yang memang tidak mencukupi memaksa kami mengungsikan beberapa rekan ke tenda-tenda rombongan lain. Terimakasih untuk pertolongannya untuk kawan baru kenal ini. Lalu sisa dari kami berdiam didalam tenda dan menggunakan payung. Ya, tenda kami bocor, jadinya ya begitu. Beragam senda gurau dan sesi curhat hadir didalam tenda darurat untuk menghangatkan suasana.
Selang beberapa jam kemudian hujan berhenti, tapi tenda sudah terlanjur trengginas nasibnya, roboh. Kami lalu tidur beralaskan pasir dan beratapkan mega. Cobaan baru muncul, makluk sejenis kutu air dan nyamuk hutan datang menyerang. Lotion seakan tidak mempan. Esok paginya beberapa orang teman mengalami penyakit kulit karenanya seperti bintik kemerahan. Dan bintik itupun ada yang bertahan hingga 2 minggu meski sudah ke dokter.
Sore beberapa saat setelah sampai di laguna ataukah malam saat badai, saya lupa pastinya, adi sempat berujar “ nomor telepon tim SAR berapa? Becandaan yang jadi obat untuk suasana saat itu. Akhirnya guyonan ini menjadi buah tangan yang masih terngiang oleh rombongan sampai saat ini.
,oh sempu.. a ton of pain and love :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar