Rabu, 03 Agustus 2011

endapan lumpur musi

menunggu hingga akhirnya kau datang, kaki jembatan ampera masih saja kuning kepekatan. lumpur memang merapatpapat pada sungai musi. airnya berupa liur yang benci tapi dikasih. semua sama. ada kepokokan melalui katalis ekonomi, ada kesarkasan  kota palembang  melalui kekuning pekatan.

musi dan kota boleh dibilang koheren  ketika menunggu. Mereka saling bercahaya dengan gelapnya. entah itu lumpur, kota atau malah kau...berujar " Aku bisa berjalan sendiri, tapi takkan selalu sampai alamat". tampak ada butuh yang jadi kekhususan. tapi salah satu (musi/kota) atau...mungkin keduanya, ingin membebaskan rasa itu. tapi..siapa bisa?

saat kau datang, ada ingin kenangan yang terjerat lupa.ada benih benci hidup, tumbuh, dan mati.. lalu hidup lagi. silih mengganti oleh kasih yang juga berkembang, layu lalu tumbuh lagi. Selalu kepingan ingatan timbul tenggelam. Tapi tetap saja lampau memberi warna dasar pada masa depan. seberapa ingat atau lupa tidaklah elementer. seperti juga nama yang dipertanyakan oleh penghukuman, juga identitas yang ada setelah nama. bukan sebelum. nama adalah warna dasarnya.

silam atau depan, semua masa akan tetap sama jika telah mengendap. apalagi yang diendap olehnya adalah rasa. apalagi tidak sejumput melainkan lalar yang menanar. menjerat kenangan pada lupa sama saja mencoba membunuh silam untuk menghidupi depan. tak kan bisa.

ampera waktu terus berdetak. walau menolak, rasa itu tak ubah. silam atau depan..
kita benci tapi mengkasih..kawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar