“anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu” sayup-sayup terdengar lantunan merdu bang iwan dari laptop seorang teman.awalnya tidak saya pedulikan, tapi tidak lama kemudian, konsentrasi saya pada televisipun buyar. stasiun televisi yang sedang menyiarkan gosip artis tiba-tiba menjadi tidak menarik. pikiran sayapun berpindah dari ruang tamu di kontrakan kumuh mahasiswa ke halte stasiun UI.
seperti biasa,siang itu saya terburu-buru berangkat ke kampus. walaupun mau UTS, adab telat ini tidak pernah berubah. di halte ini saya menunggu dengan gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.50 (kurang 10 menit lagi sebelum ujian dimulai). sesaat kemudian, bis kuning (bikun) yang dinanti akhirnya datang juga. setelah berhenti dan pintu otomatisnya terbuka, sayapun naik dan mengambil tempat duduk. hah, akhirnya saya bisa sedikit bernafas lega.
seperti biasa,siang itu saya terburu-buru berangkat ke kampus. walaupun mau UTS, adab telat ini tidak pernah berubah. di halte ini saya menunggu dengan gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.50 (kurang 10 menit lagi sebelum ujian dimulai). sesaat kemudian, bis kuning (bikun) yang dinanti akhirnya datang juga. setelah berhenti dan pintu otomatisnya terbuka, sayapun naik dan mengambil tempat duduk. hah, akhirnya saya bisa sedikit bernafas lega.
tidak lama setelah duduk, sayapun mengedarkan pandangan ke setiap sudut bis. akhirnya pandangan saya tertuju pada penumpang bis di bangku sebelah kiri saya. selain para mahasiswa, ternyata disebelah saya ada seorang anak kecil yang memangku setumpuk koran di pahanya. kalau diperhatikan dari perawakannya, kira-kira dia berumur 10-12 tahun. dia mengenakan baju kaos putih lusuh dengan celana pendek serta tas yang juga lusuh. walaupun masihkecil, entah kenapa, dari wajahnya tidak terpancar keceriaan khas anak-anak.
saya mencoba menyapa dan memulai perkenalan. anak itu memperkenalkan diri sebagai Rio ( nama samaran). sesuai perkiraan saya. Rio berumur 12 tahun dan sekarang kelas 6 SD. dari penuturannya di ketahui kalau dia berprofesi sebagai penjual koran. si rio kecil menjajakan koran ke fakultas-fakultas yang ada di UI. untuk hari ini rio akan berjualan koran di fakultas ekonomi.
rio kecil bercerita panjang lebar mengenai diri dan profesinya.dia bekerja sebagai penjaja koran untuk membantu orang tuanya. bapaknya tidak bekerja sedangkan ibunya menjadi asisten rumah tangga. khusus minggu ini, dia berjualan untuk membayar uang SPP yang sudah menunggak selama 3 bulan. dengan pelan dia berujar “Kalau tidak bisa membayar, maka saya tidak bisa mengikuti UN yang tinggal 5 hari lagi kak”. selain untuk membantu orangtuanya, rio juga beralasan kalau dia ingin mengisi waktu luangnya secara bermamfaat(menurut dia), daripada main dan keluyuran tidak jelas seperti anak-anak diusianya.
surat kabar pagi dijual siang oleh rio. itu dilakukannya sepulang dari sekolahan. sepulang dari jualan, petang, dia segera pulang ke rumah. malamnya setelah istirahat sejenak, dia melanjutkan dengan belajar dan mengerjakan tugas sekolah. siklus itu berulang terus setiap hari. begitulah kehidupan harian rio. kehidupan seorang anak yang sibuk bergelut dengan buku, kertas koran dan debu jalanan dan tidak punya waktu untuk bermain dengan teman sebayanya.
untuk ukuran anak seumuran rio, waktu untuk bermain dengan teman sebaya adalah hal yang penting. para ahli mengatakan, dengan bermain, anak-anak dapat mengembangkan hobi dan bakatnya serta mengajarkannya bersosialisasi. bermain adalah hak seorang anak dan rio tidak mendapatkan itu. hak bermain rio di renggut oleh keadaan. keadaan memaksanya untuk ikut menanggung beban berat keluarganya. pikiran rio yang harusnya diisi dengan mencoba hal-hal baru melalui permainanpun tidak didapatnya. begitulah rio, waktunya habis untuk berjualan koran dari satu fakultas ke fakultas lainnya.
bus kemudian berhenti di depan halte FE, saya dan rio turun lewat pintu depan bikun. kamipun berpisah di lobi karena saya harus masuk kelas ujian sedangkan rio ingin melanjutkan jualannya.
sayapun tersadar, ternyata acara gosip tadi sudah selesai. tapi suara bang iwan dengan sore tugu pancorannya belum hilang. “anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal”
——————–
mungkin ini pengalaman dan cerita yang sudah biasa karena memang mudah sekali menjumpai rio-rio lain di persimpangan lampu merah, dibawah jembatan dan di tempat-tempat lainnya.
saya mencoba menyapa dan memulai perkenalan. anak itu memperkenalkan diri sebagai Rio ( nama samaran). sesuai perkiraan saya. Rio berumur 12 tahun dan sekarang kelas 6 SD. dari penuturannya di ketahui kalau dia berprofesi sebagai penjual koran. si rio kecil menjajakan koran ke fakultas-fakultas yang ada di UI. untuk hari ini rio akan berjualan koran di fakultas ekonomi.
rio kecil bercerita panjang lebar mengenai diri dan profesinya.dia bekerja sebagai penjaja koran untuk membantu orang tuanya. bapaknya tidak bekerja sedangkan ibunya menjadi asisten rumah tangga. khusus minggu ini, dia berjualan untuk membayar uang SPP yang sudah menunggak selama 3 bulan. dengan pelan dia berujar “Kalau tidak bisa membayar, maka saya tidak bisa mengikuti UN yang tinggal 5 hari lagi kak”. selain untuk membantu orangtuanya, rio juga beralasan kalau dia ingin mengisi waktu luangnya secara bermamfaat(menurut dia), daripada main dan keluyuran tidak jelas seperti anak-anak diusianya.
surat kabar pagi dijual siang oleh rio. itu dilakukannya sepulang dari sekolahan. sepulang dari jualan, petang, dia segera pulang ke rumah. malamnya setelah istirahat sejenak, dia melanjutkan dengan belajar dan mengerjakan tugas sekolah. siklus itu berulang terus setiap hari. begitulah kehidupan harian rio. kehidupan seorang anak yang sibuk bergelut dengan buku, kertas koran dan debu jalanan dan tidak punya waktu untuk bermain dengan teman sebayanya.
untuk ukuran anak seumuran rio, waktu untuk bermain dengan teman sebaya adalah hal yang penting. para ahli mengatakan, dengan bermain, anak-anak dapat mengembangkan hobi dan bakatnya serta mengajarkannya bersosialisasi. bermain adalah hak seorang anak dan rio tidak mendapatkan itu. hak bermain rio di renggut oleh keadaan. keadaan memaksanya untuk ikut menanggung beban berat keluarganya. pikiran rio yang harusnya diisi dengan mencoba hal-hal baru melalui permainanpun tidak didapatnya. begitulah rio, waktunya habis untuk berjualan koran dari satu fakultas ke fakultas lainnya.
bus kemudian berhenti di depan halte FE, saya dan rio turun lewat pintu depan bikun. kamipun berpisah di lobi karena saya harus masuk kelas ujian sedangkan rio ingin melanjutkan jualannya.
sayapun tersadar, ternyata acara gosip tadi sudah selesai. tapi suara bang iwan dengan sore tugu pancorannya belum hilang. “anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal”
——————–
mungkin ini pengalaman dan cerita yang sudah biasa karena memang mudah sekali menjumpai rio-rio lain di persimpangan lampu merah, dibawah jembatan dan di tempat-tempat lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar